Kamis, April 17, 2008

Jendela

SEPIRO GEDENE SENGSORO YEN LAGI TINANDANG COBO

Al kisah seorang pemuda kampung "Surojo" namanya. Berangkat dari pelosok desa, jauh dari hiruk-pikuk keramaian yang disebut kota metropolitan. Turun Gunung, dari Lereng Lawu, ia merantau ke kota Suroboyo. “Nyunduki upo”, iku unen-unene wong Jowo. Tidak tahu siapa dia, dari keturunan trah mana dan dari keluarga apa ia berasal. Tetapi dari namanya, kata orang Jawa artinya su = baik, rojo = Raja, berarti raja yang baik. Jangankan zozis, fried chicken, pizza, French fries, atau bahkan burger yang namanya es krim aja ia tidak tahu. Lha wong aslinya orang gunung. Makanan pokoknya “sego tiwul” dan “sego jagung”. Lauk pauknyapun “juwi” (ikan asin), jangankan ikan segar, makanan yang berbau protein hewani itupun baru bisa dinikmati oleh warganya kalau ada hajatan atau selamatan.

Dengan tekad yang bulat Surojo minta pangestu “Bopo lan Biyung” untuk berangkat mengadu nasib. Tidak ada tempat yang ia tuju di Suroboyo. Rumah Allah “masjid” yang menjadi tumpuannya. Berbekal ijazah SMA ia mencoba menawarkan diri menjadi pegawai di berbagai perusahaan. Walaupun SMA-nya favorit, tetapi ijazah ini ternyata sudah kalah dengan banyaknya S-1. Apalagi skill juga tidak ia punyai. Jangankan menguasai komputer lawong desanya jauh dari kabel listrik. Lampu “ublik” teman belajarnya tiap hari.


Memang nasib dikandung badan. Surojo bertemu dengan salah seorang ta’mir masjid yang berhati mulia. “Nak, mengapa tidak mencoba untuk kuliah?” Tanya Sang Kakek. “Waduh Mbah, dalem niku putrane tiyang boten gadah, tiyang deso, kangge ma’em mawon kirang, nopo malih kangge kuliah?” Kelakar Surojo (Waduh Mbah, saya ini anaknya orang tidak mampu, orang desa, buat makan saja kurang apalagi buat kuliah?). Pendek kata akhirnya Surojo diterima kuliah di sebuah Perguruan Tinggi Negeri bergengsi di Suroboyo. Dasar bocah linuwih ing cokro, Surojo terus menerima bea siswa setiap semesternya. Sementara untuk kebutuhan sehari-hari ia tercukupi dari membersihkan selokan dan kamar mandi sebuah masjid. Alhamdulillah predikat terbaikpun ia sandang setelah 8 semester ia jalani. Ladang pekerjaanpun terbuka di mana ia mengabdi menjadi staff pengajar. “Mas Guru” itulah gelar yang ia sandang ketika pulang kampung.

Lagi-lagi do’a bocah deso ini diijabahi karo kang “murbehing dumadi”. Gusti kang akaryo Jagad” paring anugrah, bea siswa S-2 pun turun dan ia jalani. Karena kewasisannya, Surojo menjadi bintang kelas. Hingga gelar “magister”pun melekat dipundaknya. Namun, lagi-lagi siapa Surojo? Trahnya siapa? Pengabdiannya hanya menjadi pengabdian yang tiada kunjung kapan ia akan memetiknya. Kepolosan, kecerdasan, dan ketenukannya justru menjadi lahan empuk pemanfaatan orang-orang jaman modern. “Wong nandur iku mesti ngunduh, becik ketitik – olo ketoro” Kapan Surojo benar-benar menjadi raja yang baik? Cuma satu hal yang keluar dari mulutnya “sepiro gedene sengsoro yen lagi tinandang cobo, sepiro gedene suko yen lagi tinemu mulyo” (seberapa besarnya sengsara kalau lagi terkena cobaan, seberapa besarnya kesenangan kalau lagi mendapat kemuliaan). Itulah sepenggal kisah yang patut menjadi renungan kita bersama.

6 komentar:

rizky mengatakan...

Setuju!!!! kalo itu jadi renungan kita semua:
seberapa besarnya sengsara kalau lagi terkena cobaan, seberapa besarnya kesenangan kalau lagi mendapat kemuliaan

pudi-interisti mengatakan...

Kalu melihat gambarnya cerita ini sepertinya bukan cerita yang fiktif, (sambil garuk-garuk kepala)..apa ini kisah hidup panjenengan?
Kisah hidup yang berliku tapi berujung happy ending (sementara ini).
Moga hari esok lebih cerah....
Gak mati PLN-nya........

Anonim mengatakan...

kisah yg menarik om!

um... kisah pribadi kah?

Gudang Kambing mengatakan...

to: Qie semoga bisa seperti surojo
Poo: kepalanya jangan digaruk-garuk terus nanti bothak...
xero: menarik kisahnya

Anonim mengatakan...

siapakah surojo itu ?

asrofi mengatakan...

aku baru mau merintis ternak kambing kecil2an. itu arah kerja samanya.
salam,
ropi